Science · 28/09/2024 0

Kiamat di Depan Mata: Negara Ini Terancam Lenyap Ditelan Lautan

Kiamat di Depan Mata – Tuvalu adalah sebuah negara kecil yang terletak di Samudera Pasifik dan kini menghadapi ancaman serius yang bisa membuatnya punah. Negara ini terdiri dari sembilan atol yang tersebar di lautan, dengan sekitar 11.000 penduduk yang tinggal di sana. Namun, waktu semakin berkurang bagi Tuvalu dan warganya. Apa yang sebenarnya terjadi?

Ancaman utama yang dihadapi Tuvalu adalah naiknya permukaan air laut yang disebabkan oleh perubahan iklim. Dengan daratan yang sangat rendah dan rata-rata hanya beberapa meter di atas permukaan laut, atol-atol ini berisiko besar untuk tenggelam. Jika tren ini terus berlanjut, Tuvalu bisa menjadi salah satu negara pertama di dunia yang lenyap akibat perubahan iklim, meninggalkan seluruh penduduknya tanpa tanah air.

Tuvalu: Negara yang Terancam Tenggelam Akibat Kenaikan Permukaan Laut

Tuvalu, yang rata-rata ketinggiannya hanya 2 meter di atas permukaan laut, telah mengalami kenaikan permukaan laut sebesar 15 cm selama tiga dekade terakhir. Kenaikan ini terjadi satu setengah kali lipat lebih cepat dibandingkan rata-rata global, menempatkan negara ini dalam bahaya besar. Ilmuwan NASA memproyeksikan bahwa pada tahun 2050, pasang surut harian akan menenggelamkan setengah dari ibukota Funafuti, yang merupakan rumah bagi 60% penduduk Tuvalu.

Dampak dari perubahan ini sudah mulai dirasakan oleh penduduk Tuvalu. Dilansir dari Reuters, Sabtu (28/9/2024), warga Tuvalu kini harus bergantung pada air hujan untuk memenuhi kebutuhan air bersih mereka, karena intrusi air asin telah merusak sumber air tanah. Selain itu, kebun-kebun pun terpaksa ditinggikan untuk menanam sayuran, guna menghindari kerusakan akibat genangan air asin. Kondisi ini menggambarkan betapa gentingnya situasi yang dihadapi Tuvalu, yang terus berjuang untuk bertahan di tengah ancaman perubahan iklim yang semakin nyata.

Antisipasi Kehilangan Tanah Air: Relokasi Penduduk Tuvalu ke Australia

Berbagai langkah antisipasi telah dilakukan untuk menghadapi ancaman tenggelamnya Tuvalu. Salah satu langkah besar adalah perjanjian yang diumumkan pada tahun 2023 dengan Australia, yang menawarkan 280 penduduk Tuvalu setiap tahun untuk bermigrasi ke Australia mulai tahun depan. Meski demikian, tidak semua penduduk menyambut baik relokasi ini. Banyak yang merasa khawatir bahwa pindah ke negara lain akan berarti kehilangan budaya mereka.

Maani Maani, seorang pekerja IT berusia 32 tahun di kota utama Fongafale, mengungkapkan kekhawatirannya. “Beberapa orang pergi dan beberapa orang ingin tetap tinggal di sini. Ini keputusan yang sangat sulit. Untuk meninggalkan suatu negara, Anda meninggalkan budaya tempat Anda dilahirkan, dan budaya adalah segalanya,” ujarnya. Kekhawatiran ini mencerminkan dilema yang dihadapi oleh banyak penduduk Tuvalu, di mana mereka harus memilih antara keselamatan fisik dan mempertahankan warisan budaya mereka.

Upaya Terakhir Tuvalu: Menghadang Gelombang dan Membangun Lahan Buatan

Untuk saat ini, Tuvalu berusaha mengulur waktu dengan melakukan berbagai upaya mitigasi. Salah satu langkah yang diambil adalah pembangunan tembok laut di Funafuti, yang dirancang untuk menghalangi gelombang badai yang semakin parah. Selain itu, mereka telah membangun 7 hektar lahan buatan dan berencana untuk memperluasnya lebih banyak lagi. Upaya ini diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi negara ini hingga tahun 2100.

Namun, tantangan besar masih membayangi. NASA memproyeksikan bahwa pada saat itu, kenaikan permukaan laut di Tuvalu bisa mencapai 1 meter, atau bahkan dua kali lipatnya dalam skenario terburuk. Jika ini terjadi, 90% dari wilayah Funafuti, ibukota Tuvalu, diprediksi akan terendam air. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, ancaman ini menunjukkan betapa gentingnya situasi yang dihadapi oleh Tuvalu dalam menghadapi perubahan iklim global.

Masa Depan Tuvalu: Pertanyaan tentang Kedaulatan dan Batas Maritim jika Negara Tenggelam

Jika skenario terburuk terjadi dan Tuvalu akhirnya tenggelam, masih ada banyak pertanyaan penting yang belum terjawab. Salah satunya adalah status kedaulatan Tuvalu. Apakah Tuvalu akan tetap dianggap sebagai negara berdaulat jika tidak lagi memiliki tanah atau daratan? Selain itu, apakah perairan yang kini menjadi wilayah Tuvalu, meski seluruh daratannya tenggelam, akan tetap menjadi hak mereka?

Perairan Tuvalu sangat kaya akan ikan tuna, dan menjadi target utama bagi penangkap ikan asing. Negara ini menghasilkan sekitar USD 30 juta setiap tahun dari lisensi penangkapan ikan, yang merupakan sumber pendapatan terbesar bagi Tuvalu. Jika masyarakat internasional mengakui batas maritim Tuvalu sebagai batas permanen, meskipun tanpa daratan, hal ini akan sangat membantu ekonomi Tuvalu di masa depan, bahkan jika mereka kehilangan tanah air mereka.

Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab karena akan menentukan bagaimana Tuvalu dan warganya bisa bertahan secara ekonomi dan kedaulatan di tengah ancaman tenggelamnya negara mereka.

 

 

Informasi berita teknologi lainnya terupdate.