Situasi saat ini di Indonesia semakin memanas seiring dengan banyaknya demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah. Proses hukum yang diterapkan oleh kepolisian dalam menangani para demonstran juga menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) kini mengajukan langkah hukum berupa praperadilan. Ini menjadi salah satu upaya untuk melawan dugaan penegakan hukum yang sewenang-wenang oleh pihak kepolisian terhadap aktivis prodemokrasi.
Dalam keterangan pers, Wakil Ketua Bidang Advokasi di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, menyatakan bahwa terdapat sekitar 200 orang yang telah diproses hukum oleh kepolisian. Beberapa dari mereka juga menghadapi proses hukum di daerah polda lainnya.
Advokasi Hukum oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi
TAUD merupakan sebuah kolektif yang berfokus pada pembelaan hak asasi manusia dan advokasi hukum. Dalam pernyataan mereka, proses hukum ini dianggap sebagai bentuk represif terhadap gerakan pro-demokrasi yang semakin berkembang di masyarakat.
Arif Maulana menjelaskan bahwa pihaknya, dalam kolaborasi dengan jaringan masyarakat sipil, akan terus berupaya untuk memberi dukungan hukum yang diperlukan. Meski situasi ini cukup rumit, mereka optimis dapat menemukan jalan keluar.
Langkah praperadilan merupakan salah satu mekanisme yang mereka pertimbangkan saat ini. Dengan cara ini, mereka berharap dapat menantang dasar hukum yang melatarbelakangi penetapan tersangka oleh kepolisian.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Proses Penangkapan
Menurut hasil pemantauan dari LBH-YLBHI, terdapat banyak kejanggalan yang ditemukan selama proses penangkapan. Pihak kepolisian diduga telah melakukan pelanggaran terhadap prosedur hukum yang seharusnya dipatuhi.
Salah satu bentuk pelanggaran adalah penangkapan tanpa dua alat bukti yang diperlukan, yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Kondisi ini menciptakan kekhawatiran besar terkait perlindungan hukum bagi individu yang ditangkap.
Akses informasi juga merupakan kendala lain yang dihadapi oleh keluarga dan kuasa hukum. Mereka kesulitan untuk mengetahui status para penangkapan dan tidak diberi kesempatan untuk berkonsultasi atau memberikan bantuan hukum.
Kekerasan dan Penyiksaan yang Terjadi dalam Proses Penangkapan
Dari temuan yang ada, praktik kekerasan juga mewarnai proses penangkapan yang dilakukan oleh kepolisian. Beberapa saksi mengklaim mengalami penyiksaan fisik, bahkan ada yang menjadi korban kekerasan seksual.
Seorang anak yang didampingi oleh LBH Yogyakarta mengungkapkan bahwa dia mengalami tindakan kekerasan fisik yang sangat kejam. Hal ini jelas menunjukkan bahwa upaya untuk memaksa pengakuan sangat bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.
Pihak kepolisian seharusnya mematuhi standar internasional terkait penegakan hukum. Situasi ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai etika dan profesionalisme penegak hukum di tanah air.
Angka Tersangka dan Penetapan Hukum di Berbagai Polda
Sebelumnya, Mabes Polri mengumumkan bahwa terdapat 959 orang yang ditetapkan sebagai tersangka terkait dengan aksi demonstrasi. Penetapan ini dilakukan oleh 15 Polda yang menangani kasus secara terpisah.
Kabareskrim Polri menginformasikan bahwa dari jumlah tersebut, 664 adalah orang dewasa, sedangkan 295 lainnya merupakan anak yang berhadapan dengan hukum. Ini menunjukkan bahwa anak-anak tidak kebal dari dampak kebijakan represif ini.
Polda Metro Jaya, yang menjadi sorotan utama, telah menetapkan 200 orang dewasa sebagai tersangka dan 32 anak, di mana 16 dari mereka ditahan. Penetapan yang masif ini mengundang kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk aktivis dan organisasi hak asasi manusia.