Seorang mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Perdana Arie, dilaporkan telah ditangkap oleh Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta alias DIY. Penangkapan ini diduga berkaitan dengan aksi unjuk rasa yang terjadi pada akhir Agustus 2025. Dalam rilis yang dikeluarkan oleh Aliansi Jogja Memanggil, dijelaskan bahwa penangkapan berlangsung di kediaman Perdana Arie, di mana ia dikelilingi oleh puluhan anggota polisi.
Menurut informasi yang diterima, Perdana Arie dibawa dengan alasan sebagai saksi terkait aksi unjuk rasa di depan Mapolda DIY. Namun, pihak Aliansi Jogja Memanggil menegaskan bahwa Polda DIY tidak membawa surat penangkapan maupun surat panggilan kepada Perdana Arie untuk memberikan keterangan.
Aliansi tersebut menyatakan bahwa Perdana Arie akhirnya level statusnya ditingkatkan dari saksi menjadi tersangka. Pihak kepolisian dilaporkan memaksa Arie untuk menerima pendamping hukum dari fasilitasi Polda DIY, yang dinilai tidak sesuai dengan hak asasi manusia.
Prosedur Penangkapan dan PAM HAM
Perdana Arie menyampaikan bahwa selama proses penangkapan, dirinya mengalami perlakuan yang tidak sesuai dengan prosedur hukum. Tindakan ini melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang seharusnya tidak memperbolehkan adanya perlakuan kasar terhadap tersangka.
Sementara itu, Atqo Darmawan Aji, anggota Barisan Advokasi Rakyat untuk Demokrasi dan Keadilan (Bara Adil), menjelaskan bahwa penunjukan kuasa hukum oleh Polda DIY tanpa melibatkan keluarga Perdana Arie sangat merugikan. Saat ini, kuasa hukum mereka telah resmi dilimpahkan kepada Bara Adil untuk menangani kasus ini.
Atqo menambahkan bahwa kliennya telah mengalami tekanan mental dan fisik selama penangkapan. Meskipun tidak ada tanda-tanda fisik yang tersisa, tindakan kekerasan tetap dirasakan sebagai pelanggaran hak asasi yang tidak seharusnya terjadi dalam penegakan hukum.
Reaksi dari Aliansi Jogja Memanggil terhadap Tindakan Kepolisian
Aliansi Jogja Memanggil mengkhawatirkan tindakan penangkapan yang dianggap sewenang-wenang ini. Mereka menilai bahwa polisi lebih mengutamakan untuk menangkap aktivis mahasiswa daripada menindak oknum yang melakukan kekerasan selama demonstrasi. Kejadian ini dinilai sebagai bagian dari pola pembungkaman terhadap gerakan masyarakat sipil.
Mereka melaporkan bahwa jumlah orang yang menjadi tersangka terkait demonstrasi di seluruh Indonesia mencapai 959, dengan 295 di antaranya adalah anak-anak. Selama aksi di Yogyakarta pada akhir bulan Agustus, 66 orang ditangkap, dan 24 di antaranya merupakan anak-anak.
Aliansi juga mencatat adanya korban luka berat dalam aksi tersebut, yang mengharuskan mereka dirawat di rumah sakit. Salah satu dari korban tersebut, yang merupakan mahasiswa, dilaporkan telah meninggal dunia, menunjukkan tingginya risiko yang dihadapi oleh para peserta aksi.
Pernyataan Sikap dan Tuntutan Aliansi Jogja Memanggil
Menanggapi situasi ini, Aliansi Jogja Memanggil secara resmi menyampaikan beberapa tuntutan kepada pihak kepolisian. Mereka meminta agar aparat segera menghentikan penangkapan terhadap aktivis dan warga sipil yang terlibat dalam unjuk rasa, serta membebaskan semua tahanan yang ditangkap dengan alasan yang tidak jelas.
Selain itu, mereka juga mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk terlibat aktif dalam upaya pembebasan. Mereka mengharapkan untuk dapat melibatkan lembaga pengawasan, seperti Ombudsman, guna mengawasi dugaan pelanggaran dalam proses penangkapan.
Aliansi mendesak Kepolisian Daerah DIY untuk menjamin akses bantuan hukum kepada semua tersangka. Mereka ingin memastikan bahwa hak asasi setiap individu tetap dihargai dan tidak ada penangkapan yang dianggap kriminal terhadap tindakan berdemo.