Aktivitas Matahari dan Dampaknya – Cuaca antariksa, seperti halnya cuaca di Bumi, dapat berubah-ubah dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Fenomena ini bermula dari aktivitas di permukaan Matahari, yang merupakan sumber utama energi radiasi dan partikel yang mencapai Bumi.
Menurut Rizal Suryana, ST., M.Sc, Peneliti Ahli Muda di Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam live DOFIDA di kanal YouTube BRIN ‘Pengamatan Sains Antariksa Berbasis Satelit’, aktivitas Matahari adalah faktor utama yang mempengaruhi fenomena cuaca antariksa.
Aktivitas Matahari ini melibatkan lontaran miliaran ton partikel dan plasma berenergi tinggi serta radiasi gelombang elektromagnetik. Ketika partikel dan radiasi ini mengarah ke Bumi, mereka dapat mempengaruhi lapisan atmosfer, sistem teknologi, serta aktivitas manusia di antariksa dan Bumi. Dampaknya bisa dirasakan dalam bentuk gangguan komunikasi, navigasi, dan bahkan potensi bahaya bagi satelit dan astronot.
Dampak Aktivitas Matahari pada Teknologi di Bumi: Analogi Air Mendidih
Rizal Suryana, ST., M.Sc, Peneliti Ahli Muda di Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), memberikan gambaran yang menarik tentang bagaimana aktivitas Matahari mempengaruhi Bumi. “Analoginya seperti kita memanaskan air. Ketika mendidih, air bergolak dan ada letupan-letupannya. Nah, letupan itu ibaratnya lontaran partikel yang akan mempengaruhi teknologi di Bumi,” jelas Rizal.
Dengan analogi ini, Rizal menggambarkan bahwa ketika aktivitas Matahari sedang tinggi, lontaran partikel dan radiasi yang dihasilkannya dapat mengganggu sistem teknologi di Bumi, seperti komunikasi satelit dan navigasi. Namun, ketika aktivitas Matahari sedang tenang, risiko gangguan tersebut jauh lebih kecil, dan kondisi di Bumi relatif aman.
Flare dan CME: Aktivitas Matahari yang Mempengaruhi Cuaca Antariksa
Salah satu aktivitas Matahari yang signifikan dalam mempengaruhi cuaca antariksa adalah flare dan Coronal Mass Ejection (CME) atau lontaran massa korona. Flare merupakan ledakan yang terjadi akibat terbukanya salah satu kumparan magnet di Matahari. Ledakan ini tidak hanya melepaskan sinar ultraviolet ekstrem, tetapi juga memancarkan radiasi gelombang elektromagnetik seperti sinar-X, yang dapat mengionisasi molekul-molekul atmosfer Bumi. Akibatnya, komposisi kimia dan kerapatan molekul di lapisan atmosfer atas berubah.
Di sisi lain, CME melibatkan lontaran partikel seperti plasma, proton, dan elektron berenergi tinggi. Jika CME mengarah ke Bumi, partikel-partikel ini akan berinteraksi dengan magnetosfer Bumi. Magnetosfer kemudian membelokkan partikel-partikel tersebut ke kutub-kutub Bumi dan daerah sekitarnya, di mana mereka berinteraksi dengan molekul-molekul atmosfer, menyebabkan fenomena seperti aurora.
Pengamatan cuaca antariksa menjadi sangat penting untuk memprediksi peristiwa CME besar, yang berpotensi merusak jaringan listrik, transportasi, dan komunikasi di Bumi.
Pengamatan Cuaca Antariksa: Landas Bumi vs. Satelit
Rizal Suryana menjelaskan bahwa pengamatan cuaca antariksa dapat dilakukan melalui dua metode utama: menggunakan teknologi landas Bumi dan berbasis antariksa (satelit). Kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Misalnya, untuk mengukur ionosfer di seluruh wilayah Indonesia, pengamatan berbasis landas Bumi memerlukan puluhan alat pengamatan yang harus dipasang dari Sabang hingga Merauke. Sebaliknya, pengamatan berbasis satelit cukup dilakukan dengan satu atau dua satelit yang diterbangkan untuk mengamati seluruh wilayah dari ujung ke ujung Indonesia. Selain cakupannya yang lebih luas, pengamatan berbasis satelit juga menghasilkan gambar pengamatan dengan kualitas resolusi tinggi.
Namun, satelit memiliki kelemahan, seperti biaya operasional yang tinggi dan masa operasional yang relatif lebih singkat. Jika satelit rusak, perbaikannya tidak bisa dilakukan dengan cepat, berbeda dengan teknologi landas Bumi yang bisa langsung diperbaiki jika terjadi kerusakan.
Informasi berita teknologi lainnya terupdate.